Perkembangan doktrin Keperawanan_abadi_Maria

Gereja perdana

jmpl|180px|Representasi seni dari abad ke-6 akan keperawanan Maria setelah melahirkan Yesus Pada abad ke-2, ada pengembangan minat dalam Gereja perdana terkait bagaimana Yesus dikandung dan keperawanan Maria. Mayoritas penulis Kekristenan awal menerima bahwa Yesus dikandung oleh perawan dengan mengandalkan yang tertulis pada Injil Lukas dan Matius; fokus dari pembahasan-pembahasan masa awal ini adalah keperawanan sebelum kelahiran Yesus, bukan saat kelahiran atau setelahnya.[32][33]

Penafsiran atas teks Matius 1:25 bahwa "tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki" dan atas berbagai teks Perjanjian Baru yang menyebutkan saudara-saudara Yesus dibahas di bagian bawah, dalam sub-judul "Menurut Kitab Suci". Saudara-saudara Yesus yang disebutkan dalam Injil, "Yakobus, saudara Tuhan Yesus" (menurut Galatia 1:19), "saudara Yesus yang disebut Kristus, yang bernama Yakobus" (menurut Flavius Yosefus),[34] ditafsirkan oleh banyak naskah bukanlah sebagai anak-anak Maria. Penggunaan kata "saudara" dalam Alkitab tidak hanya merujuk pada saudara biologis (kandung) tetapi juga pada kerabat keluarga atau sanak saudara tidak sekandung (Kejadian 14:14, Kejadian 29:15), teman dekat (2 Samuel 1:26, 1 Raja-raja 9:13), atau bahkan sekutu (Amos 1:9).

Sebuah dokumen dari abad ke-2 yang memberi perhatian khusus pada keperawanan Maria awalnya dikenal sebagai "Kelahiran Maria", namun kemudian dikenal dengan "Protoevangelium Yakobus" (dari sumbernya: Injil apokrif Yakobus).[3][35]:35 Dokumen tersebut menceritakan mengenai keperawanan Maria sebelum ia melahirkan, keajaiban dalam bagaimana ia melahirkan, dan keperawanan fisik bahkan setelah melahirkan.[35]:40[36][37] Selain itu dokumen yang sama juga mengklaim bahwa saudara-saudara Yesus, dalam Matius 13:56 dan Markus 6:3, adalah anak-anak Yusuf dari perkawinan sebelumnya (sebelum dengan Maria).[38] Tetapi teks ini tidak menyatakan secara eksplisit perihal keperawanan abadi Maria setelah kelahiran Yesus.

Belum ada konsensus sepenuhnya mengenai doktrin keperawanan abadi dalam Gereja awal mula hingga akhir abad ke-2; Tertulian (s.160 - s.225) tidak mengajarkan doktrin tersebut (walau ia mengajarkan perihal kelahiran dari perawan), tetapi Ireneus (s.130 - s.202) — yang dipandang sebagai seorang santo dan Bapa Gereja — mengajarkan tentang keperawanan abadi dan juga tema-tema lainnya terkait Maria.[33] Origen (185-254) bersikap tegas dalam masalah mengenai saudara-saudara Yesus ini, dan ia menyatakan keyakinannya bahwa saudara-saudara Yesus tersebut merupakan anak-anak Yusuf dari suatu perkawinan sebelumnya.[39] Akan tetapi dukungan yang lebih luas terhadap doktrin tersebut mulai terlibat dalam abad berikutnya.[33]

Beberapa penulis dari abad ke-4, Helvidius (Helvetius) dan Eunomius dari Cyzicus (salah seorang pemimpin Arianisme), menafsirkan pernyataan Matius dengan arti bahwa Yusuf dan Maria melakukan hubungan suami istri yang normal setelah kelahiran Yesus, dan bahwa Yakobus, Yoses, Yudas, dan Simon merupakan anak kandung Maria dan Yusuf, adalah suatu pandangan yang dipegang oleh Helvidius dan Eunomius.[40] Helvidius, mengikuti opini Tertulian, menentang doktrin keperawanan abadi Maria, dimana Hieronimus membalasnya dalam Ecclesiae hominem dengan mengatakan bahwa Tertulian bukanlah putra Gereja.[41] Sementara Basilius dari Kaisarea menyangkal pandangan Eunomius karena Basilius melihat teks Matius 1:25 sebagai bukti yang mendukung, bukan menentang, keperawanan abadi Maria.[40]

Pada abad ke-4, doktrin keperawanan abadi telah ditegasan dengan baik.[35]:97-98 Sebagai contoh, ditemukan rujukan dalam tulisan abad ke-3 dari Hippolitus dari Roma yang menyebut Maria sebagai "sang tabernakel yang dibebaskan dari kecemaran dan kerusakan";[42] dan tulisan abad ke-4 dari Athanasius,[43] Epifanius,[44] Hilarius,[45] Didimus,[46] Ambrosius,[47] Hieronimus,[48] and Sirisius[49] melanjutkan pengesahan doktrin keperawanan abadi —sebuah kecenderungan yang melaju cepat pada abad berikutnya.[4][5]

Bapa Gereja dan abad pertengahan

[[Berkas:Otsy.jpg|jmpl|kiri|Para Bapa Gereja dalam suatu penggambaran pada abad ke-11 dari Kiev]] Yohanes Krisostomus (347-407) membela keperawanan abadi Maria dengan sejumlah alasan, salah satunya adalah kata-kata Yesus kepada ibunya di Kalvari: "Ibu, inilah anakmu!" dan kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" (Yohanes 19:26-27).[50][51] Sejak abad ke-2, kedua perkataan Yesus dari salib tersebut telah menjadi dasar penalaran bahwa Maria tidak memiliki anak lain dan "sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya" (Yohanes 19:27) karena setelah kematian Yusuf dan Yesus tidak ada orang lain yang merawat Maria, sehingga Maria harus dipercayakan kepada murid tersebut (Yohanes).[52][53]

Pada masa Gregorius dari Nyssa dan Agustinus dari Hippo, seiring meningkatnya penekanan pada kesalehan Maria, pandangan atas peranan Maria yang lebih luas mulai timbul dalam konteks sejarah keselamatan.[6] Agustinus sendiri menyajikan sejumlah pendapat yang mendukung doktrin keperawanan abadi.[54][55] Di akhir abad ke-4, teks Lukas 1:34 ("Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?") mulai dibaca sebagai satu hal yang menunjukkan "sumpah keperawanan abadi" dari pihak Maria.[6] Para Bapa Gereja tersebut berpendapat bahwa kebingungan Maria timbul karena ia sudah pernah bersumpah untuk tetap perawan.[56]

Konsep mengenai sumpah (kaul) keperawanan telah ditampilkan dalam Protoevangelium (4:1) yang mana menyatakan bahwa ibu Maria, Anna, mempersembahkan Maria sebagai "perawan dari Allah" di Bait Allah, dan bahwa Yusuf, seorang duda, berperan sebagai penjaga Maria (pada saat itu perlindungan hukum bagi wanita tergantung pada pelindung laki-laki mereka: ayah, saudara, atau suami).[57] Pada awal abad ke-7 Isidorus dari Sevilla, dalam Short Book on the Perpetual Virginity of Blessed Mary, menghubungkan tema Mariologi dan Kristologi dengan mengaitkan keperawanan Maria pada keilahian Kristus.[58] Buku lainnya dari sekitar abad ke 6-7, "Sejarah dari Yosef sang Tukang Kayu", menuliskan tentang Yesus yang menyebut Maria, saat kematian Yosef (atau Yusuf), sebagai "ibu-Ku, perawan tanpa noda";[59] tulisan tersebut kemungkinan disusun dalam bahasa Yunani, namun yang bertahan sampai saat ini hanya terjemahan dalam bahasa Koptik dan Arab.[60] Konsili Lateran tahun 649, yang dihadiri Maximus Sang Pengaku Iman, kemudian secara eksplisit menegaskan ajaran keperawanan Maria sebelum, saat, dan setelah kelahiran Yesus.[33] Hal ini selanjutnya ditegaskan pada konsili ekumenis ke-6 (Konsili Konstantinopel Ketiga) pada tahun 680.[4]

Selama berabad-abad interpretasi atas Maria sebagai seorang mempelai Allah yang tetap perawan yang mengambil sumpah keperawanan selamanya telah menyebar luas dan menjadi sangat lazim dalam masa Rupertus dari Deutz pada abad ke-12.[6] Pada abad ke-13, Thomas Aquinas telah membentuk argumen teologis yang panjang dan rinci dalam membela doktrin tersebut dan menyatakan bahwa penolakan terhadap keperawanan abadi Maria adalah merendahkan kesempurnaan Kristus, penistaan terhadap Roh Kudus, dan penghinaan terhadap martabat Bunda Allah.[61][62]

Maria, Hawa Kedua

[[Berkas:MCB-mosaicob.jpg|jmpl|170 px|Madonna dan Putera, ikonografi Eleusa dari abad ke-13, Athena]] Pada abad ke-4, dalam pembahasan rencana keselamatan Allah, satu tema paralel mulai timbul di mana ketaatan Maria ("jadilah padaku menurut perkataanmu itu" sesuai Lukas 1:38) dan doktrin keperawanan abadi menempatkan kedudukan yang berlawanan dengan Adam dan Hawa, seperti juga ketaatan Yesus berlawanan dengan Adam (Roma 5:12-21).[6][33] Konsep mengenai Maria sebagai "Hawa Kedua" (atau disebut juga "Hawa Baru") pertama kali diperkenalkan oleh Yustinus Martir sekitar tahun 155.[63] Dalam sudut pandang ini, yang mana dibahas secara rinci oleh Ireneus, didukung oleh Hieronimus, dan kemudian berkembang lebih lanjut, kaul ketaatan dan keperawanan Maria memposisikannya sebagai "Hawa Kedua" sebagai bagian dari rencana keselamatan, sebagaimana juga Yesus diposisikan sebagai "Adam Kedua".[6][33]

Tema yang dikembangkan oleh para Bapa Gereja ini berjalan beriringan dengan tema yang dikembangkan oleh Rasul Paulus dalam Roma 5:19 di mana ia membandingkan dosa Adam dengan ketaatan Yesus pada kehendak Bapa: "Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar."[64] Dengan cara yang sama, ketaatan Maria atas pernyataan dari malaikat (Gabriel), dan kesetiaannya pada sumpah keperawanan untuk selamanya dipandang sebagai obat atas kerusakan yang disebabkan oleh Hawa.[65]

Ajaran mengenai Hawa Kedua ini terus tumbuh di kalangan Katolik, dan dalam pembahasan keperawanan abadi, Katekismus Konsili Trente tahun 1566 mengajarkan secara eksplisit bahwa sementara Hawa dengan mempercayai ular membawa kutukan terhadap umat manusia, tetapi Maria dengan mempercayai malaikat membawa berkat bagi manusia.[42][66] Konsep Hawa Kedua disebut Paus Pius XII dalam ensiklik Mystici Corporis Christi dan dibahas Paus Yohanes Paulus II dalam Audiensi Umum di Vatikan pada tahun 1980, dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep ini tetap menjadi bagian dalam ajaran Gereja Katolik hingga sekarang.[67][68]

Rujukan

WikiPedia: Keperawanan_abadi_Maria http://www.vatican.va/archive/ENG0015/__P1K.HTM http://www.ocf.org/OrthodoxPage/liturgy/liturgy.ht... http://www.coptic.net/prayers/StBasilLiturgy.html http://www.copticchurch.net/topics/liturgy/liturgy... http://web.ukonline.co.uk/ephrem/lit-james.htm https://web.archive.org/web/20080615045105/http://... http://www.frmichel.najim.net/liturgyvid.pdf http://www.peshitta.org/pdf/wigram.pdf https://books.google.co.id/books?id=Dx4WrfzZMsoC http://www.prounione.urbe.it/pdf/f_prounione_bulle...